
SERTIFIKASI, JAMINAN GURU PROFESIONAL?
Agus Budiyanto
Judul di atas sengaja penulis buat dalam bentuk pertanyaan. Semoga tidak menimbulkan salah pengertian atau missed perception dari para pembaca. Yang penulis maksud di sini bukanlah bahwa sertifikasi merupakan jaminan buat guru yang profesional, namun bahwa guru yang sudah lolos dan lulus sertifikasi apakah dijamin kerjanya profesional.
Penulis memiliki beberapa pandangan yang mungkin bagi pembaca kurang sreg. Namun semata-mata penulis sangat ingin melihat kalaupun tidak sekarang namun di kemudian hari program sertifikasi guru ini benar-benar certified, artinya mulai dari proses rekruitmen, proses penilain sampai pada tahap pemantauan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Hal ini mutlak dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait, khususnya dinas pendidikan, agar di kemudian hari juga program ini tidak akan menjadi bumerang bagi para guru. Jangan sampai mereka yang sudah menyandang gelar guru profesional, justru memperoleh makian dan bahkan umpatan dari rekan kerja atau bahkan dari pegawai di instansi lain. “Katanya profesional kok kerjanya kaya gitu, apanya yang profesional dari dia, profesional kok tidak bisa kasih contoh bagus bagi teman yang lain”, dan sederet kalimat atau kata yang lain.
Maaf, sebenarnya tujuan awal adanya sertifikasi, murni untuk membentuk sosok guru yang profesioanal, yang bisa diandalkan serta peduli dengan kemajuan pendidikan. Maka dalam UU Guru dan Dosen disyaratkan banyak hal yang bagi sebagian guru ‘menyulitkan bahkan menyengitkan’. Padahal dengan begitu sebenarnya akan terjadi seleksi alam dan ilmiah bagi mereka yang mampu dan memenuhi kriteria awal.
Penulis sebenarnya agak prejudice dengan pemerintah, namun sejak awal penulis tegaskan bahwa ini murni opini penulis atas kepedulian terhadap dunia pendidikan kita yang bukan semakin terang, tapi semakin buram.
Kalo guru sejahtera sebenarnya itu harus. Sejahtera identik mereka harus mendapatkan imbalan yang layak atau cukup syukur lebih tapi tidak berlebihan atas hasil keringat mereka mengajar dan mendidik anak bangsa. Sejahtera tidak memandang kualifikasi akademik, umur, pangkat/ golongan, dan bahkan masa kerja.
Penulis kaitkan dengan program sertifikasi. Menurut penulis harus dibedakan antara sertifikasi dengan kesejahteraan guru. Sertifikasi memang harus melalui uji atau seleksi yang ketat dan persyaratan yang jelas dan pasti, bukan seperti karet yang bisa diolor-olor, hingga yang mestinya tidak bisa ikut jadi bisa ikut. Karena sementara yang penulis amati di lapangan munculnya perubahan kebijakan tersebut dalam rangka memenuhi aspek ekonomis, bukan kualitas dan jauh dari profesional.
Mudah-mudahan ke depan para pengambil kebijakan bisa lebih jernih pikirannya dalam memutuskan sebuah kebijakan, sehingga tidak mudah terkeruhkan oleh riak-riak di sekitarnya.
Bagi guru, sejahtera harus, karena mereka mendidik manusia bukan mesin, yang jauh tingkat kerumitannya lebih tinggi.
Kualitas pendidik dan pendidikan juga tidak bisa ditawar harus ditingkatkan, salah satunya melalui program sertifikasi, yang akan melahirkan guru-guru profesional.
Penulis meramalkan jika proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program sertifikasi masih seperti sekarang ini, maka yang muncul dan lahir bukanlah guru-guru atau pendidik yang profesional, tapi mereka yang sok profesional bersembunyi di balik kerudung sertifikat pendidik profesional.
Sekali lagi, mungkin hanya di negara tercinta kita ini yang para guru dan pendidiknya masih terus mengurusi dan menuntut kesejahteraan. Kapan ngurusi anak didik mereka. Kapan pendidikan kita bisa bersaing dengan negara-negara maju yang lain. Apakah Negara tidak mampu mensejahterakan gurunya. Apakah guru tidak boleh sejahtera.
Semoga ke depan lebih baik.
Amin.