20 Mei 2009
Seputar Sertifikasi Guru
SERTIFIKASI, JAMINAN GURU PROFESIONAL?
Agus Budiyanto
Judul di atas sengaja penulis buat dalam bentuk pertanyaan. Semoga tidak menimbulkan salah pengertian atau missed perception dari para pembaca. Yang penulis maksud di sini bukanlah bahwa sertifikasi merupakan jaminan buat guru yang profesional, namun bahwa guru yang sudah lolos dan lulus sertifikasi apakah dijamin kerjanya profesional.
Penulis memiliki beberapa pandangan yang mungkin bagi pembaca kurang sreg. Namun semata-mata penulis sangat ingin melihat kalaupun tidak sekarang namun di kemudian hari program sertifikasi guru ini benar-benar certified, artinya mulai dari proses rekruitmen, proses penilain sampai pada tahap pemantauan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Hal ini mutlak dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait, khususnya dinas pendidikan, agar di kemudian hari juga program ini tidak akan menjadi bumerang bagi para guru. Jangan sampai mereka yang sudah menyandang gelar guru profesional, justru memperoleh makian dan bahkan umpatan dari rekan kerja atau bahkan dari pegawai di instansi lain. “Katanya profesional kok kerjanya kaya gitu, apanya yang profesional dari dia, profesional kok tidak bisa kasih contoh bagus bagi teman yang lain”, dan sederet kalimat atau kata yang lain.
Maaf, sebenarnya tujuan awal adanya sertifikasi, murni untuk membentuk sosok guru yang profesioanal, yang bisa diandalkan serta peduli dengan kemajuan pendidikan. Maka dalam UU Guru dan Dosen disyaratkan banyak hal yang bagi sebagian guru ‘menyulitkan bahkan menyengitkan’. Padahal dengan begitu sebenarnya akan terjadi seleksi alam dan ilmiah bagi mereka yang mampu dan memenuhi kriteria awal.
Beberapa periode perekrutan uji sertifikasi berlangsung, sementara itu pula banyak bermunculan usulan ‘pemudahan syarat’ ikut program ini. Hasilnya memang jelas, terdapat perubahan dan penjelasan tambahan tentang syarat awal bisa mengikuti seleksi, dan juga siapa saja yang bisa ikut. Sekilas memang terasa manis perubahan kebijakan tersebut, namun menurut penulis ada beberapa ‘penodaan’ terhadap program sertifikasi guru ini.
Penulis sebenarnya agak prejudice dengan pemerintah, namun sejak awal penulis tegaskan bahwa ini murni opini penulis atas kepedulian terhadap dunia pendidikan kita yang bukan semakin terang, tapi semakin buram.
Kalo guru sejahtera sebenarnya itu harus. Sejahtera identik mereka harus mendapatkan imbalan yang layak atau cukup syukur lebih tapi tidak berlebihan atas hasil keringat mereka mengajar dan mendidik anak bangsa. Sejahtera tidak memandang kualifikasi akademik, umur, pangkat/ golongan, dan bahkan masa kerja.
Penulis kaitkan dengan program sertifikasi. Menurut penulis harus dibedakan antara sertifikasi dengan kesejahteraan guru. Sertifikasi memang harus melalui uji atau seleksi yang ketat dan persyaratan yang jelas dan pasti, bukan seperti karet yang bisa diolor-olor, hingga yang mestinya tidak bisa ikut jadi bisa ikut. Karena sementara yang penulis amati di lapangan munculnya perubahan kebijakan tersebut dalam rangka memenuhi aspek ekonomis, bukan kualitas dan jauh dari profesional.
Mudah-mudahan ke depan para pengambil kebijakan bisa lebih jernih pikirannya dalam memutuskan sebuah kebijakan, sehingga tidak mudah terkeruhkan oleh riak-riak di sekitarnya.
Bagi guru, sejahtera harus, karena mereka mendidik manusia bukan mesin, yang jauh tingkat kerumitannya lebih tinggi.
Kualitas pendidik dan pendidikan juga tidak bisa ditawar harus ditingkatkan, salah satunya melalui program sertifikasi, yang akan melahirkan guru-guru profesional.
Penulis meramalkan jika proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program sertifikasi masih seperti sekarang ini, maka yang muncul dan lahir bukanlah guru-guru atau pendidik yang profesional, tapi mereka yang sok profesional bersembunyi di balik kerudung sertifikat pendidik profesional.
Sekali lagi, mungkin hanya di negara tercinta kita ini yang para guru dan pendidiknya masih terus mengurusi dan menuntut kesejahteraan. Kapan ngurusi anak didik mereka. Kapan pendidikan kita bisa bersaing dengan negara-negara maju yang lain. Apakah Negara tidak mampu mensejahterakan gurunya. Apakah guru tidak boleh sejahtera.
Semoga ke depan lebih baik.
Amin.
15 Mei 2009
SBY Berbudi
Bertempat di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) Bandung, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keputusan cawapres Budiono itu dalam pidato politiknya dihadapan ribuan para kader dan pendukungnya.
Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, alasan mengapa dirinya memutuskan Budiono sebagai calon pendampingnya, dikarenakan sosok Budiono jauh dari konflik of interes, atas kepentingan ekonomi dan politik.
Sementara itu, Budiono dalam pernyataanya menyatakan siap mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono untuk membangun ekonomi yang diusung Susilo Bambang Yudhoyono, meski kemunculannya mendapatkan resistensi dari kelompok partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat.
Business Letters
Business Letter Vocabulary
attachment | extra document or image that is added to an email |
block format | most common business letter format, single spaced, all paragraphs begin at the left margin |
body | the content of the letter; between the salutation and signature |
bullets | small dark dots used to set off items in an unnumbered list |
certified mail | important letters that sender pays extra postage for in order to receive a notice of receipt |
coherent | logical; easy to understand |
concise | gets to the point quickly |
confidential, personal | private |
diplomacy, diplomatic | demonstrating consideration and kindness |
direct mail, junk mail | marketing letters addressed to a large audience |
double space | format where one blank line is left between lines of text |
enclosure | extra document or image included with a letter |
formal | uses set formatting and business language, opposite of casual |
format | the set up or organization of a document |
heading | a word or phrase that indicates what the text below will be about |
indent | extra spaces (usually 5) at the beginning of a paragraph |
informal | casual |
inside address | recipient's mailing information |
justified margins | straight and even text, always begins at the same place |
letterhead | specialized paper with a (company) logo or name printed at the top |
logo | symbol or image that identifies a specific organization |
margin | a blank space that borders the edge of the text |
memorandum (memo) | document sent within a company (internal), presented in short form |
modified block format | left justified as block format, but date and closing are centered |
on arrival notation | notice to recipient that appears on an envelope (e.g. "confidential") |
postage | the cost of sending a letter through the Post Office |
proofread | read through a finished document to check for mistakes |
punctuation | marks used within or after sentences and phrases (e.g. periods, commas) |
reader-friendly | easy to read |
recipient | the person who receives the letter |
right ragged | format in which text on the right side of the document ends at slightly different points (not justified) |
salutation | greeting in a letter (e.g. "Dear Mr Jones") |
sensitive information | content in a letter that may cause the receiver to feel upset |
semi-block format | paragraphs are indented, not left-justified |
sincerely | term used before a name when formally closing a letter |
single spaced | format where no blanks lines are left in-between lines of text |
spacing | blank area between words or lines of text |
tone | the feeling of the language (e.g. serious, enthusiastic) |
transitions | words or phrases used to make a letter flow naturally (e.g. "furthermore", "on the other hand") |
The Final Exam Supervising
For all bloggers around the world and even on the here after…
This afternoon, let me share with you all about the effectivity of ‘supervising’ in the national exam of a certain school or college. Whatever their names, ‘Tim Pemantau Independen’, ‘Pengawas Satuan Pendidikan’ or others.
What is actually the main purpose of making these kinds of team. The ‘pure’ aim of creating them is how the running of the test or exam based on the rules. Avoiding such kinds of bad tricks constructing by the students, by the teachers or even the schools themselves.
Why the government should decide to make by the law these elite groups. Should the students, the teachers, or even the schools be prejudiced?
Are the ‘supervisors’ effective? I really don’t think so. Let me have negative thinking about this kind of policy. It seems like a big project. Just how to distribute ‘the cakes’.
Why????
Let’s take a look at the recruitment of the members of the team. Do all the members selected have good capability on supervising? How does the rule of selecting them? What should be and how should be?
The next, when the ‘Dday”. What are done by the supervisors? Just sitting, keep talking, or keep sleeping?
The last. How about reporting the results of supervising?
No discussing.
Let’s share…
05 Mei 2009
Kumpulan Cerita Lucu
Kita masih ingat ketika aktor agak terkenal Indonesia, Ongky Alexander menikah dengan Paula, anak buah Mbak Tutut, (yang konon kabarnya suka berlesbi-ria dengan Tutut … konon lho).
Beberapa minggu setelah pernikahan mereka, seorang wartawan kita menanyakan pengalaman pertama Paula bersama Ongky, "Bagaimana pendapat Mbak Paula, mengenai pengalaman malam pertama bersama Ongky?"
"Wah, … ternyata titit lebih enak daripada Tutut!," jawab Paula dengan antusiasnya.
Dua mahasiswa saling melemparkan tebakan untuk adu kepintaran. Si A bertanya pada B, "Apa perbedaan dan persamaan antara kepala Harmoko dan pantat penyanyi seksi, Madonna?"
"Ah gampang. Kalau kepala Harmoko itu belah pinggir, sedang pantat Madonna belah tengah. Tapi isi keduanya sama," sahut si B.
Si A pun manggut-manggut mengakui kepintaran temannya tersebut.